Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan bahan
renungan yang menggugah kesadaran para pendiri negara, termasuk Soekarno ketika
menggagas ide Philosophische Grondslag. Perenungan ini mengalir ke arah upaya
untuk menemukan nilai-nilai filosofis yang menjadi identitas bangsa Indonesia. Perenungan
yang berkembang dalam diskusi-diskusi sejak sidang BPUPKI sampai ke pengesahan Pancasila
oleh PPKI, termasuk salah satu momentum untuk menemukan Pancasila sebagai
sistem filsafat. Kendatipun demikian, sistem filsafat itu sendiri merupakan
suatu proses yang berlangsung secara kontinu sehingga perenungan awal yang
dicetuskan para pendiri negara merupakan bahan baku yang dapat dan akan terus merangsang
pemikiran para pemikir berikutnya. Notonagoro, Soerjanto Poespowardoyo,
Sastrapratedja termasuk segelintir pemikir yang menaruh perhatian terhadap
Pancasila sebagai sistem filsafat. Oleh karena itu, akan dibahas kedudukan
Pancasila sebagai sistem filsafat dengan berbagai pemikiran para tokoh yang
bertitik tolak dari teori-teori filsafat.
Mengapa
mahasiswa perlu memahami Pancasila secara filosofis? Alasannya karena mata
kuliah Pancasila pada tingkat perguruan tinggi menuntut mahasiswa untuk
berpikir secara terbuka, kritis, sistematis, komprehensif, dan mendasar sebagaimana
ciri-ciri pemikiran filsafat. Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa
dapat menguasai kompetensi sebagai berikut. Bersikap inklusif, toleran dan
gotong royong dalam keragaman agama dan budaya; mengembangkan karakter
Pancasilais yang teraktualisasi dalam sikap jujur, disiplin, tanggungjawab,
peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, cinta damai, responsif dan
proaktif; bertanggung jawab atas keputusan yang diambil berdasar prinsip musyawarah;
memahami dan menganalisis hakikat sila-sila Pancasila, serta mengaktualisasikan
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai paradigma berpikir, bersikap,
dan berperilaku; mengelola hasil kerja individu dan kelompok menjadi suatu
gagasan tentang Pancasila yang hidup dalam tata kehidupan Indonesia.
A.
Menelusuri
Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat
1. Konsep Pancasila sebagai Sistem Filsafat
a. Apa yang dimaksudkan dengan sistem filsafat
Apakah Anda sering mendengar istilah “filsafat”
diucapkan seseorang, atau
mungkin Anda sendiri seringkali mengucapkannya?
Namun, apakah Anda
mengerti dan faham apa yang dimaksudkan dengan
filsafat itu? Untuk itu,
coba Anda renung dan pikirkan beberapa pernyataan
yang memuat istilah
“filsafat” sebagai berikut:
1) “Sebagai seorang pedagang, filsafat saya adalah
meraih keuntungan
sebanyak-banyaknya”.
2) “Saya sebagai seorang prajurit TNI, filsafat saya
adalah mempertahankan
tanah air Indonesia ini dari serangan musuh sampai
titik darah terakhir”.
3) “Pancasila merupakan dasar filsafat negara yang
mewarnai seluruh
peraturan hukum yang berlaku”.
4) “Sebagai seorang wakil rakyat, maka filsafat saya
adalah bekerja untuk
membela kepentingan rakyat”.
Berdasarkan keempat pernyataan di atas, maka Anda
tentu dapat
membedakan bunyi pernyataan (1), (2), (4), dan
pernyataan (3). Untuk dapat
memahami perbedaan keempat pernyataan tersebut, maka
perlu menyimak
beberapa pengertian filsafat berdasarkan watak dan
fungsinya sebagaimana
yang dikemukakan Titus, Smith & Nolan sebagai
berikut:
1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan
terhadap kehidupan
dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis.
(arti informal)
2) Filsafat adalah suatu proses kritik atau
pemikiran terhadap kepercayaan
dan sikap yang sangat dijunjung tinggi. (arti
formal)
3) Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran
keseluruhan. (arti komprehensif).
4) Filsafat adalah analisa logis dari bahasa serta
penjelasan tentang arti kata
dan konsep. (arti analisis linguistik).
5) Filsafat adalah sekumpulan problematik yang
langsung mendapat
perhatian manusia dan dicarikan jawabannya oleh
ahli-ahli filsafat. (arti
aktual-fundamental).
Berdasarkan uraian tersebut, maka pengertian
filsafat dalam arti informal
itulah yang paling sering dikatakan masyarakat awam,
sebagaimana
pernyataan pedagang dalam butir (1), pernyataan
prajurit butir (2), dan
pernyataan wakil rakyat butir (4). Ketiga butir
pernyataan tersebut termasuk
dalam kategori pengertian filsafat dalam arti
informal, yakni kepercayaan atau keyakinan yang diterima secara tidak kritis.
Adapun pernyataan butir (3) merupakan suatu bentuk
pernyataan filsafat
yang mengacu pada arti komprehensif. Hal ini
disebabkan oleh pernyataan
“Pancasila merupakan dasar filsafat negara yang
mewarnai seluruh peraturan
hukum yang berlaku” mengacu pada arti komprehensif
atau menyeluruh,
yaitu seluruh peraturan yang berlaku di Indonesia
harus mendasarkan diripada Pancasila. Dengan demikian, Pancasila merupakan
suatu sistem
mendasar dan fundamental karena mendasari seluruh
kebijakan
penyelenggaraan negara. Ketika suatu sistem bersifat
mendasar dan
fundamental, maka sistem tersebut dapat dinamakan
sebagai sistem filsafat.
Pengertian filsafat butir (2) suatu proses kritik
terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi, lebih mengacu pada arti
refleksif, yaitu sikap terbuka dan toleran dan mau melihat sesuatu dari segala
sudut persoalan tanpa prasangka (Titus, Smith & Nolan, 1984: 11--12). Dalam
hal ini, filsafat dapat menjadi sarana untuk berpikir lebih jauh dan mendalam
daripada sekadar mengandalkan atau percaya pada opini yang ada di masyarakat.
Misalnya, masyarakat awam beranggapan bahwa tenggelamnya seseorang yang sedang
mandi di pantai Parangtritis dipercaya sebagai ulah Nyi Roro Kidul yang mengambilnya
sebagai pasukan. Ungkapan semacam ini, dalam filsafat dikategorikan sebagai
mitos, sedangkan kelahiran filsafat sejak zaman Yunani kuno justru sebagai
reaksi terhadap mitos. Adagium pada zaman Yunani berbunyi, “Logos (akal)
mengalahkan mitos (dongeng, legenda) yang bersifat irrasional”. Voltaire, salah
seorang filsuf Perancis abad kedelapan belas pernah melontarkan adagium yang
berbunyi, “Takhayul (mitos) membakar dunia, filsafat memadamkannya” (Magee,
2008: i).
Pengertian filsafat butir (4) sebagai analisa logis
dari bahasa serta penjelasan
tentang arti kata dan konsep, lebih mengacu pada
upaya untuk melakukan
klarifikasi, yaitu menjelaskan arti istilah dan
pemakaian bahasa dalam
berbagai bidang kehidupan (Titus, Smith & Nolan,
1984: 13). Dalam hal ini,
filsafat dapat menjadi sarana berpikir kritis untuk
memahami makna suatu
ungkapan.
Mengapa
Pancasila dikatakan sebagai sistem filsafat? Ada beberapa alasan yang dapat
ditunjukkan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Pertama; dalam sidang BPUPKI, 1 Juni 1945, Soekarno memberi judul
pidatonya dengan nama Philosofische Grondslag daripada Indonesia Merdeka.
Adapun pidatonya sebagai berikut:
“Paduka Tuan Ketua yang mulia, saya mengerti apa
yang Ketua kehendaki! Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta Philosofische
Grondslag, atau jika kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka Tuan
Ketua yang mulia minta suatu Weltanschauung, di atas mana kita mendirikan negara
Indonesia itu”. (Soekarno, 1985: 7).
Noor
Bakry menjelaskan bahwa Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan hasil
perenungan yang mendalam dari para tokoh kenegaraan Indonesia. Hasil perenungan
itu semula dimaksudkan untuk merumuskan dasar negara yang akan merdeka. Selain
itu, hasil perenungan tersebut merupakan suatu system filsafat karena telah
memenuhi ciri-ciri berpikir kefilsafatan. Beberapa ciri berpikir kefilsafatan
meliputi: (1). sistem filsafat harus bersifat koheren, artinya berhubungan satu
sama lain secara runtut, tidak mengandung pernyataan yang saling bertentangan
di dalamnya. Pancasila sebagai system filsafat, bagian-bagiannya tidak saling bertentangan,
meskipun berbeda, bahkan saling melengkapi, dan tiap bagian mempunyai fungsi
dan kedudukan tersendiri; (2). sistem filsafat harus bersifat menyeluruh,
artinya mencakup segala hal dan gejala yang terdapat dalam kehidupan manusia.
Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa merupakan suatu pola yang dapat
mewadahi semua kehidupan dan dinamika masyarakat di Indonesia; (3). sistem
filsafat harus bersifat mendasar, artinya suatu bentuk perenungan mendalam yang
sampai ke inti mutlak permasalahan sehingga menemukan aspek yang sangat fundamental.
Pancasila sebagai sistem filsafat dirumuskan berdasarkan inti mutlak tata
kehidupan manusia menghadapi diri sendiri, sesama manusia, dan Tuhan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara; (4). Sistem filsafat bersifat
spekulatif, artinya buah pikir hasil perenungan sebagai praanggapan yang
menjadi titik awal yang menjadi pola dasar berdasarkan penalaran logis, serta
pangkal tolak pemikiran tentang sesuatu. Pancasila sebagai dasar negara pada
permulaannya merupakan buah pikir dari tokoh-tokoh kenegaraan sebagai suatu
pola dasar yang kemudian dibuktikan kebenarannya melalui suatu diskusi dan dialog
panjang dalam sidang BPUPKI hingga pengesahan PPKI (Bakry, 1994: 13--15).
Pancasila
sebagai dasar filsafat negara (Philosophische Grondslag) nilai-nilaifilosofis
yang terkandung dalam sila-sila Pancasila mendasari seluruhperaturan hukum yang
berlaku di Indonesia. Artinya, nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan harus mendasari seluruh peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Contoh: Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Pasal
3 ayat (a) berbunyi, ”Mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat
yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan
Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan”.
Undang-undang tersebut memuat sila pertama dan sila kedua yang mendasari
semangat pelaksanaan untuk menolak segala bentuk pornografi yang tidak sesuai
dengan nlai-nilai agama dan martabat kemanusiaan.
Kedua, Pancasila sebagai Weltanschauung, artinya
nilai-nilai Pancasila itu merupakan sesuatu yang telah ada dan berkembang di
dalam masyarakat Indonesia, yang kemudian disepakati sebagai dasar filsafat
negara (Philosophische Grondslag). Weltanschauung merupakan sebuah pandangan dunia
(world-view). Hal ini menyitir pengertian filsafat oleh J. A. Leighton sebagaimana
dikutip The Liang Gie, ”A complete philosophy includes a worldview or a
reasoned conception of the whole cosmos, and a life-view or doctrine of the
values, meanings, and purposes of human life” (The Liang Gie, 1977: 8). Ajaran
tentang nilai, makna, dan tujuan hidup manusia yang terpatri dalam Weltanschauung
itu menyebar dalam berbagai pemikiran dan kebudayaan Bangsa Indonesia.
b. Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pertama, manusia telah memperoleh kekuatan baru yang
besar dalam sains dan teknologi, telah mengembangkan bermacam-macam teknik
untuk memperoleh ketenteraman (security) dan kenikmatan (comfort). Akan tetapi,
pada waktu yang sama manusia merasa tidak tenteram dan gelisah karena mereka
tidak tahu dengan pasti makna hidup mereka dan arah harus tempuh dalam
kehidupan mereka. Kedua, filsafat melalui kerjasama dengan disiplin ilmu lain
memainkan peran yang sangat penting untuk membimbing manusia kepada keinginan-keinginan
dan aspirasi mereka. (Titus, 1984: 24). Dengan demikian, manusia dapat memahami
pentingnya peran filsafat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Referensi :
Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. 2016. Pendidikan
Pancasila Untuk Perguruan Tinggi. Cetakan pertama-2016.